Friday, January 6, 2017

Sebuah Proses - W's Journal


Rumah, 6 Mei 2016
Pukul 22.45
20 tahun, 3 bulan, 16 hari

Pernahkah di suatu masa dalam hidupmu, kau terhenti dari langkahmu dan sejenak menyadari bahwa dunia tak lagi sama?

Kau pun mulai menyadari adanya sebuah bentuk dari apa yang selama ini tampak abstrak. Adanya pemahaman akan spesialisasi dalam generalisasi, ataupun kompleksitas dalam kesederhanaan membuatmu terbiasa untuk berpikir dan bertindak sesuai sistem. Kau mulai menyusun rencana, berusaha sebaik mungkin untuk tetap terorganisir dan terstruktur. Tanpa ada yang terlewat atau terlupa, karena kau terlalu lelah untuk mengulang dan menyusun kembali lagi dari awal. Menjadi pesimis tampak lebih baik dibanding bersikap optimis tanpa perencanaan. Kau mulai belajar menerima bahwa kekalahan dan kehilangan terkadang memang tidak dapat terhindarkan—bila semua usaha yang dikerahkan tak membawa hasil yang memuaskan. Kini kau melihat adanya batasan. Tak semua hal bisa kau rengkuh, dan tak semua kenyataan akan berakhir sesuai yang kau harapkan. Kau mulai paham bahwa sebuah ketidakmungkinan mungkin terjadi dan mencoba membatasi dirimu untuk memperkecil peluang tersebut. 

Kau mulai mengerti makna dari sebuah hal dan mencoba merangkainya menjadi sebuah susunan prioritas yang kelak akan menentukan siapa dirimu yang sesungguhnya.

Kini semuanya tampak terbalik, karena kau mulai mencoba membuka tabir yang dulu tampaknya menghalangi—melindungimu; yang tabu kini menjadi umum, yang gelap kini menjadi terang, tak ada rahasia yang benar-benar bersifat rahasia dan tak ada tempat yang benar-benar aman. Kau mulai paham bahwa terkadang sebuah kata bisa bermakna ganda. Kau sadar bahwa dunia tidak akan pernah bisa menciptakan warna baru, dan warna yang ada pun tak segemerlap biasa, hanya tersisa hitam dan putih. Siang dan malam, panas dan dingin, baik dan buruk, benar dan salah, untung dan rugi, ya dan tidak, kini kau mulai mengkategorikan sesuatu dalam dua makna yang berlawanan. Ini dan itu. Tidak ada ruang untuk “si tengah-tengah” karena hal itu memang tidak pernah ada. Plin-plan dan tidak berperinsip, begitu kau menyebut ”si tengah-tengah”. Tidak ada yang bisa menjadi baik sekaligus buruk dalam satu waktu. 


Kau harus memilih.

Dan dari pilihan tersebut, kelak kau akan belajar arti dari sebuah tanggung jawab.

Idealisme memang masih kau agungkan, namun kau mulai berhenti berpikir khayalis dan mencoba berpikir realistis. Kau mulai meragukan sesuatu yang tidak nyata, tidak berwujud, dan tidak valid karena kau mencoba membangun fondasi yang kokoh sebagai tempatmu berpijak, dan fakta adalah material terbaik. Pengalaman membuatmu ragu untuk berspekulasi dan kau lebih memilih mencari yang pasti. Kau mulai beranjak individualis karena kau telah belajar bahwa pada akhirnya yang dapat kau percaya adalah dirimu sendiri; kau yang menentukan jalan hidupmu sendiri.

Tak ada lagi pelangi sehabis hujan, suara keramaian tak lagi terdengar menyenangkan, hanya hingar bingar yang tergaung di telinga, bahkan tidak ada lagi gemerlap bintang yang mengikutimu saat kau berjalan sendirian di kala malam. Hanya pekat yang terlihat, bukan legam. Belum setidaknya, dan kelak kau akan tahu apa makna dari sebuah sudut pandang.

Mungkin ada baiknya kita tengok ke belakang, saat di mana masa-masa itu terlihat berwarna, bergradasi dan bermakna. Bersyukurlah sejenak bila kau pernah mengecap manisnya keberuntungan itu di masa lalumu. Namun kau bukan berhenti untuk kembali.

Kau berhenti untuk sekedar menyadari duniamu yang tak lagi sama. Ketika kau menengok lagi ke belakang hanya untuk menyadari bahwa duniamu telah berubah, aku yakin kau akan tersenyum kecut menghadapi kenyataan bahwa tak ada lagi hasrat yang menggebu dan khayalan akan cinta yang sempurna. Tidak ada lagi mimpi manis di siang hari, yang ada hanya sebaris pemikiran tentang “apa yang harus kulakukan untuk bisa melalui hari ini?”.

Kau pun mulai terbiasa dengan sepi, rumah kini tak lagi bermakna layaknya rumah; tempat dimana kau bisa menjadi apapun yang kau mau, tempat dimana mimpimu tumbuh tanpa diseleksi. Rumah kini hanyalah benda mati, sekedar bangunan singgah yang beratap dan berdinding; tempat yang memiliki segala keterbatasan yang fana.

Mereka menyebutnya proses. Sebuah proses pendewasaan; sebuah pengenalan akan kenyataan yang tidak selalu berjalan sesuai harapan.

Ya, aku pernah mengalaminya,

dan aku membenci itu.